29 Agustus 2013

Bagaimana rasanya sakit itu?
Banyak sekali deskripsinya, tergantung bagaimana kamu mengartikannya. Tapi yang jelas, sakit itu rasanya tidaklah lebih bahagia.
Bagaimana rasanya jatuh?
Sakit bukan? Ya, jatuh itu sakit. Tapi, usaha yang kita buat untuk bertahan sekuat tenaga cukup terasa sangat menyakitkan...
Ketika kegagalan menghampirimu, ketika banyak tangan mendoakanmu, tetapi dalam waktu yang bersamaan, ada tangan yang sengaja memanfaatkan kegagalanmu untuk melanjutkan urusan mereka, agar semuanya terselesaikan, apa itu tidak terasa sangat menyakitkan? Sangat menyakitkan. Ketika kau memiliki orang yang biasa kau katakan ia sebagai belahan jiwamu, tetapi orang tersebut juga ternyata tidak bisa berbuat apa-apa, malah mungkin dia lebih memilih bersama dengan urusannya ketimbang bersamamu walau untuk sebentar, untuk mendengarkan apa yang menjadi keluhanmu, apakah itu tidak terasa sangat menyakitkan? Sangat menyakitkan. Ketika semua apa-apa yang ada dalam hatimu berubah menjadi emosi yang tak tersalurkan, lalu kamu mencoba menyalurkannya dengan caramu sendiri, apakah itu tidak cukup mengerikan untuk dirimu? Itu sangat mengerikan.
Banyak cara orang berusaha untuk kuat dengan kegagalannya. Ketika ia sendirian, mencoba menghibur dirinya sendiri, menahan mati-matian airmata yang ingin mencoba keluar, saat ia dipaksa harus menyaksikan keberhasilan yang lain. Bahkan dipaksa untuk melihat yang lain menyelesaikan urusannya. Di saat yang sama, kamu sendirian. Rasanya seperti berada di dua jalan, rasanya seperti sedang berjalan di jalan yang salah, seperti tersesat pada labirin dan tak tahu kemana arah balik. Ada tangan-tangan yang mencoba merangkulku dengan tulus, menghiburku, tapi tak banyak juga tangan-tangan yang mengolok-olokku. Rasanya aku benar-benar sendirian di tempat yang ramai.
Berada pada satu tempat, namun dengan berbeda nasib, seperti berbicara pada topik yang berbeda. Lalu, harus bagaimana aku sekarang? Aku benar-benar sendiri, aku benar-benar harus dipaksa kuat ditengah badai. Belum lagi kalau aku pergi ke suatu tempat, akan banyak mata-mata yang memandangku sebelah. Akan banyak pertanyaan-pertanyaan yang siap menusukku kapan saja. Aku sendirian. Aku tak bisa bercerita dengan siapa-siapa. Hanya airmata, namun rasanya aku sudah lelah menangis. Sudah lelah dengan semua beban yang harus aku pikul sepanjang jalan kehidupan yang tak berujung. Aku butuh teman berbagi, yang setia, yang tulus, yang mau mendengarkan semua kisah pahit dalam hidupku. Tak perlu ia tampan atau cantik, Tak perlu ia kaya atau miskin, cukup bagiku bisa saling berbagi rasa itu rasanya sudah lebih dari nikmat. Setidaknya aku tidak terus menahan airmata karena aku lelah berairmata.
Banyak tanyaku pada Tuhan, kenapa aku harus dicoba sehebat ini? Kenapa Tuhan kurasa tidak adil? Kenapa Tuhan tidak ingin menlihatku bahagia dan memujinya? Kadang pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang membuatku merasa sakit. Disaat mereka bisa melanjutkan hidupnya, hidupku harus dulu ditahan. Disaat mereka mulai bisa merencanakan hidupnya, rencana hidupku terpaksa tak bisa kutulis dalam benakku dulu. Menyakitkan sekali semuanya bagiku. Menyakitkan. Orang yang aku anggap sebagai belahan jiwaku pun pergi entah kemana disaat aku terjatuh seperti ini. Dia mungkin lebih memilih pada dunianya yang bisa memberinya kesenangan. Maaf, aku telah menyelipkan kesedihan. Disaat ia membutuhkan rasa kesenangan, atau disaat aku berada pada situasi bahagia, dia akan datang dengan sukarela, tetapi disaat aku sedang berada pada masa sulit, kemana dia? Entahlah....
Aku memutuskan semuanya akan kujalani sendiri disaat aku terjatuh dengan kondisiku. Berat memang kurasa, harus mendengarkan keluhan-keluhan sekelilingku atas keberhasilannya, apakah mulut mereka tidak bisa sedikit lebih bersyukur kepada Tuhannya, jika melihat kondisiku. Rasanya ingin marah. Tapi tak ada alasanku untuk iri pada mereka, itu sudah nasib mereka. Ragaku lelah terus dipaksa melayani kepentingan mereka menyelesaikan urusan keberhasilan mereka. Sudah ribuan kata sindiran ku lontarkan untuk mereka. Apakah mereka tidak mengerti juga? Dimana rasa tenggang rasa mereka? Mungkin sudah mati, atau mungkin tidak ada, dimakan bahagianya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar